Oleh: M. Kubais M. Zeen*
Indah Sari Hamid**
*Editor, Pernah Penulis Tamu untuk Literasi Koran Tempo, Makassar
**Alumni Sastra Inggris Universitas Khairun, Staf Disarpus Malut
“Jika anak-anak hidup dengan persahabatan,
mereka belajar bahwa dunia adalah tempat yang bagus untuk hidup.”
(Dorothy Law Notle)
Dara berparas Eropa itu kami kenal 16 tahun lalu. Bukan kenal langsung, tidak pula di media sosial yang oleh novelis internasional Stephenie Meyer disebut tak banyak manfaatnya. Melainkan, buah pena sejumlah aktivis hak dan perlindungan anak di mercusuar timur Indonesia: Makassar. Juga laman, tanpa kecuali LHM University of Oxford, United Kingdom, yang kami permak seperlunya sebagai sandaran di ruang terbatas ini.
Dialah Eglantyne Jebb. Lahir 146 tahun empat belas hari lalu di Ellesmere Shropshire, Inggris, dari pasangan Arthur Jebb dan Lousia Jebb. Kedua orangtuanya menapaki hidup sederhana, sekalipun kaya harta. Terkenal punya kesadaran sosial tinggi, kukuh dengan komitmen dalam pelayanan publik, sepenuh cinta mengasuh dan mendidik anak-anak.
Sebagai anak, Eglantyne memperoleh haknya bermain dan sekolah. Ia gemar membaca berbagai buku di perpustakaan di dalam rumah yang dibangun sang ayah. Banyak pula menyendiri, melamun–sembari menikmati jalan soliter ini, ia sendirian ke desa-desa, mencintai orang biasa, dan sangat membenci “wajah” buruk sistem kelas sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Beranjak dewasa, Eglantyne menimba ilmu sejarah di Lady Margareth Hall, University of Oxford. Di salah satu kampus Universitas tersohor sejagat ini, ia terkenal sebagai mahasiswa energik dalam beradu pendapat.
Berpendidikan dan berasal dari keluarga kaya, tak membuatnya berpangku tangan, ongkang kaki menikmati hasil jerih paya keluarga besarnya. Eglantyne berupaya meretas jalannya sendiri: menjadi guru SD Marlborough, Wiltshire; aktif belajar bagaimana membangun organisasi amal di Charity Organization Society, Cambridge; menulis buku “Cambridge: Sebuah Studi Sosial,”–hasil riset kemiskinan kota, terbit 1906. Membantu Relief Fund Macedonia menyalurkan bantuan kemanusiaan kepada orang-orang di negeri semenanjung Balkan: Serbia beserta sekutunya dan Albania, yang mengungsi dan menderita akibat pertikaian antaragama. Mengampanyekan politik untuk melawan kelaparan, editor di majalah AOS, The Plough, dan membantu adiknya, Dorothy, menyuguhkan berita akurat dan jujur mengenai dampak perang terutama sosial ekonomi, di majalah Cambridge.
Penghujung perang dunia pertama, Eglantyne mendirikan Save the Children, 19 Mei 1919 di Royal Albert Hall. Tahun 1923 ia menyusun Deklarasi Hak Anak yang berisi 30 hak anak, yang diadopsi oleh Liga Bangsa-Bangsa dalam deklarasi tahun 1924, populer disebut Deklarasi Jenewa. Empat belas tahun kemudian (1919-1928), Eglantyne mengebuskan nafas terakhir di sebuah panti jompo di Jenewa, 17 Desember 1928. Ia dimakamkan di Pemakaman St. George.
Sekalipun hidupnya singkat, 52 tahun, tak sia-sia. Namanya terpahat abadi nan harum. Save the Children menjadi organisasi non-religius terbesar ketiga di dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (BBB) mendeklarasikan hak anak, menetapkan tahun anak internasional, menyelenggarakan Konferensi Hak Anak pertama di Polandia, dan secara aklamasi menyetujui rumusan final Konvensi Hak Anak (KHA) melalui Sidang Majelis Umum PBB pada 20 November 1989.
Tahun berikut, Indonesia bersama 56 negara tercatat sebagai negara pertama yang merativikasi KHA tersebut. Tiga belas tahun kemudian, Pemerintah Indonesia membuat Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Hak Anak, yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014. Mempunyai Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Dinas PPPA provinsi, kabupaten, kota, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Perlindungan Anak), dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daeah (KPAID). Belakangan, pemerintah menggencarkan program daerah layak anak, dan jauh sebelumnya menetapkan Hari Anak Nasional setiap 23 Juli.
Di institusi penegak hukum, Polri memiliki Unit khusus Pelayanan Perempuan dan Anak. Para hakim di pengadilan pun memiliki hakim bagi anak, dan setiap persidangan yang terkait dengan anak, harus mendatangkan aktivis/pekerja sosial kompeten dalam hak anak, dan psikolog. Tak sedikit pula advokat/pengacara yang memasang badan membela anak-anak yang berhadapan dengan hukum.
Pemerintah di sejumlah daerah mendukung dibentuknya Lembaga Perlindungan Anak yang digagas oleh aktivis/pekerja sosial berintegritas dan konsen pada upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak. Di dunia pers, beberapa lembaga melatih jurnalis meliput dan menulis berita yang ramah anak, supaya diksi yang digunakan dalam memroduksi berita tak merugikan (hak) anak. Kepentingan terbaik anak-lah yang dikedepankan.
Andai tak ada jasa besar sang reformis sosial yang senegara dengan novelis legendaris paling berpengaruh: Jane Austin (1775-1817), Charles Dickens (1812-1870), George Eliot (1819-1880), Sir Arthur Conan Doyle (1859-1940), Georeg Orwell (1903-1950), Virginia Woolf (1882-1941), dan J.R.R. Tolkien (1892-1973) itu, masyarakat dunia takkan mengenal hak dan perlindungan anak.
Dalam kacamata filsafat fenomenologi eksistensial, bukan kekayaan yang membuat hidup Eglantyne bermakna. Melainkan keberpihakannya pada anak-anak yang menjadi tumbal perang, konflik antaragama, dan sistem kelas sosial yang mengempaskan nilai-nilai kemanusiaan. Anak-anak tidak bersalah. Save the Children dan deklarasi hak anak adalah legacy terbaiknya.
Karena itu, bagi kami, Eglantyne laksana sekuntum bunga Sakura, yang melandasi filosofi hidup bangsa di negeri berjuluk matahari terbit, Jepang. Kendati hanya sekali mekar dalam setahun, bunga Sakura memancarkan rona-rona keindahan bagi yang memandangnya, menebarkan keharuman dan kesejukan bagi yang menghampirinya. Eglantyne, seperti petuah yang mulia Nabi Muhammad saw, “sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat bagi orang lain.” Lalu, bagaimana dengan kita?***