DUAZONA.COM, SANANA – Kantor DPRD Kepulauan Sula, Senin (12/9/2022) dikepung sejumlah elemen mahasiswa di Kabupaten Kepulauan Sula, Provinsi Maluku Utara, yang tergabung dalam Front Bersama, di antaranya PMII Cabang Kepulauan Sula, DPC GMNI, IMM, KAMMI, dan LMND Eksekutif Kota Sanana.
Kedatangan sejumlah elemen mahasiswa yang dilengkapi dengan pengeras suara dan umbul-umbul tersebut, untum memprotes dan menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
“Hari ini, lagi-lagi kedaulatan rakyat kembali dikhianati oleh para pemangku kebijakan di negeri ini. Kondisi kebangsaan yang carut-marut dan ketimpangan yang terjadi akibat dari kebijakan pemerintah yang kemudian tidak berpihak kepada seluruh masyarakat Indonesia, pada 3 September 2022, Presiden dan Mentri Energi Sumber Daya Meneral (ESDM) mengeluarkan surat kebijakan kenaikan BBM dengan alasan banyaknya hutang negara,” teriak Ketua GMNI Kepulauan Sula, Riski Leko dalam orasinya.
Kata Riski, pemerintah saat ini telah membebani seluruh masyarakat Indonesia untuk melunasi utang negara. “Padahal kita tahu bersama bahwa dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasai 34 Ayat 1 yang berbunyi: fakir miskin dan anak-anak yang terlantar di pelihara oleh negara, namun berbanding terbalik,” kesalnya.
Kajian massa aksi, dengan adanya fenomena kenaikan harga BBM yang kemudian melumpuhkan sendi kehidupan yang dampaknya lebih menyengsarakan masyarakat, seperti tukang ojek, sopir angkot, kaum nelayan, kaum buruh, pedagang kaki lima, dan lainya.
Lebih parah lagi, sembilan bahan Pokok (SEMBAKO) yang merupakan kebutuhan utama masyarakat lantaran naiknya tarif angkutan darat maupun laut.
Massa aksi pun menilai, kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat, yang tidak sesuai dengan peta jalan serta konsepsi Pancasila sebagai pandangan dan pedoman hidup berbangsa dan bernegara, di mana kebijakan pemerintah yang lumpuh dalam mekanisme pasar bebas korporat dan oligarki, tentunya berdampak kepada kesengsaraan dan ketertindasan rakyat kecil, karena tidak ada penataan dan pengaturan yang berimbang dalam tatanan kehidupan ekonomi oleh pemangku kebijakan, yakni legislator dan eksekutor.
Berikut, sikap massa aksi:
1.Turunkan Jokowi, pecat Mentri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM),
2.Pemerintah segera menghentikan Pembangunan Strategis Nasional (PSN)
3.Tolak Revisi RUU Liberal (RKUHP dan RUU Sisdiknas),
4.Tolak RKUHP,
5.Pemda dan DPRD segera mengeluarkan Rekomendasi Penolakan Kenaikan Harga BBM,
6.DPRD segera menggunakan hak angket dan hak interplase memanggil Bupati untuk buat Perda soal penerapan harga Sembako dan Harga Minyak Petermax untuk pengecer,
7.Tolak Daerah Otonomi Baru (DOB) di Pulau Mangoli,
8.Tolak 10 IUP Di Pulau Mangoli,
9.Evaluasi Kinerja Bupati Kepsul Selama 1 Tahun Pemerintahan,
10.Mendesak Bupati Kepsul segera pecat Kadis Disprindagkop,
11.Cabut kebijakan SPBU terkait pengisian BBM bersubdisi menggunakan SIM dan STNK,
12.Mendesak DPRD untuk penetapan Upah Minimum Kerja (UMK) Tahun 2020,
13.Stop perampasan tanah rakyat,
14.Stop diskriminasi Gerakan Rakyat,
15.Naikan harga komoditi lokal, dan
16.Mendesak Badan Pertanahan Nasional (BPN) segera memberikan sertifikat rumah warga.
Namun kedatangan masa aksi itu, tidak dapat menemui satupun anggota DPRD, sebab saat ini seluruh anggota DPRD sedang melaksanakan perjalanan luar daerah. “Semua anggota tidak berkantor, karena sedang dinas luar, “kata salah satu pegawai sekretariat, yang tak mau namanya diberitakan. (dN/cm-red)