Oleh:
Indah Sari Hamid dan M. Kubais M. Zeen
Alumni Sastra Inggris Unkhair, Staf Disarpus Malut.
Pernah penulis tamu untuk Literasi Koran Tempo, Makassar.
“I do believe something very magical can happen when you read a good book.”– J.K. Rowling
Paula Hawkins. Setelah 15 tahun bekerja sebagai jurnalis The Times, menulis novel The Girl on the Train, Into the Water, dan A Slow Fire Burning. Novel debutnya, The Girl on the Train yang bergendre psikologi thriller telah melambungkan namanya di panggung sasatra dunia sejak 2015 lalu. Dengan judul yang sama diadaptasi ke layar lebar, dibintangi Emily Blunt, Haley Bennett, Rebbeca Ferguson, dan Justin Theroux.
Perempuan kelahiran 1972 itu mampu menulis buku yang telah diterjemahkan ke banyak bahasa di dunia tanpa kecuali Indonesia, tak lain karena membaca. Sebab, titah Tuhan itu, oleh Profesor Antropolinguistik Unkhair, Gufran A. Ibrahim disebut “batu asah bagi tajamnya nalar, dan jalan pemandaian bagi penulis.” Tak bisa dipisahkan, laksana cinta dalam kehidupan manusia.
Sekitar 14.127 kilometer dari Hawkins menetap di London, seorang jurnalis seringkali membawa buku yang memikat hatinya. Setelah meliput dan menulis berita, kadang santai di cafe, ia menelusuri aksara dalam lembaran buku yang telah ditandai. Tatapan aneh ia rasakan dari orang-orang sekitar, telinganya menangkap sangat jelas suara beberapa orang yang ia kenal: “Kau mau jadi profesor?” “Ah pamer buku baru ya?” “Jangan terlalu banyak membaca,” “Santai dululah.” Ia tersenyum kecut, jendela dunia dimasukkan ke dalam tas, dan kopi hitam yang ia teguk semakin pahit rasanya.
Suasana yang tak menyenangkan seperti itu bukan hal baru. Sejak dulu, bukan rahasia lagi, membaca di ruang publik dipandang sesuatu yang asing. Begitu pula di banyak universitas terutama di wilayah timur Negeri ini. Perpustakaan sepi, lebih rajin didatangi rayap putih.
Ruang publik kita, kata Profesor Gufran A. Ibrahim saat menyampaikan materi pada Workshop Bunda Literasi, Duta Baca, dan Pegiat Literasi, yang digagas Disarpus Malut, 13 September 2022, adalah cermin literasi kita. Ruang tunggu bandara, pelabuhan, taman kota, dan terminal angkutan umum atau kereta api, tak ada yang membaca. Berbeda dengan negara maju. Di Jepang, orang membaca di mana-mana, di ruang publik maupun privat, dan saat berjalan. Begitu pula di Amerika, dan di sana tiga dari lima orang pasti membaca buku. Di ruang privat seperti toilet, seperti di banyak film Hollywood, ada koran dan majalah disediakan: sambil melepas hajat, membaca, daripada menghayal atau selancar di media sosial tiada guna.
“Kegilaan” orang membaca itu seperti pengalaman Profesor Rhenald Kasali. Saat menimba ilmu manajemen tingkat doktoral di Univerity of Illionis, Amerika, ia rasakan tak susah karena sebelum dan sesudah mengikuti kuliah, semua mahasiswa sibuk membaca buku dan jurnal bermutu tinggi. Tak ada yang santai. Demikian halnya di negeri sastrawan legendaris paling berpengaruh, Jane Austin dan George Orwel. DeLiang–putra sulung suami istri Ario Muhammad, Ph.D dan Ratih NEA, yang berusia sekolah dasar sudah membaca puluhan buku setiap tahun, dan menulis buku fantasi berbahasa Inggris–beberapa di antaranya bertengger di tangga best seller internasional versi Amazon.com.
Hawkins, Rhenald, DeLiang (pernah) berada di ranah yang negara dan masyarakatnya taat menjalankan titah Tuhan: Iqra! Bacalah! Sekalipun di sana bukan mayoritas Islam. Sebaliknya, kawan tadi yang kini seprofesi dengan Hawkins, justru ditatap aneh dan diledek setiap kali ia menggerakkan literasi di dalam dirinya, di negara yang masyarakatnya mayoritas hafal dan baca titah Tuhan itu saat sholat maupun acara keagamaan, tanpa kecuali pada bulan suci Ramadhan, dan peringatan Nuzulul Qur’an.
Ingatan kami pun terpelanting ke hasil survei lembaga internasional tentang minat baca dan literasi di jagat ini yang sudah banyak dirujuk. Bersandar pada UNESCO, minat baca penduduk Indonesia hanya 0,001 persen, dengan lain kata, dari 1000 orang hanya satu yang rajin membaca. Tak jauh beda dengan hasil riset Central Connectitut State University yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked. Dari 61 negara, Indonesia terpaku di urutan kedua dari bawah, kalah dengan Thailand, urutan 59. Pada ranah literasi, sebanyak 72 negara yang survei Program for International Student Assessement dan dirilis Organization for Economic Cooperation and Development, Indonesia di urutan 62, atau masuk 10 negara yang rendah literasinya. Sungguh menyesakkan dada. “Itu fakta yang tak terbantahkan,”tandas Profesor Gufran saat Workshop.
Literasi menjadi anak kandung kemajuan suatu negara-bangsa. Hulu kemajuan ilmu pengetahuan-teknologi dan peradaban saat ini ialah negara-negara yang tinggi literasinya di dunia. Negara kita justru bertengger di puncak pengguna media sosial di dunia. Karena itu, literasi, menjadi salah satu program strategis nasional Pemerintah Indonesia, demi mengejar ketertinggalan, mewujudkan kehidupan yang cerdas, inovatif, dan kreatif.
“Sibua” literasi
Di antara banyak upaya yang dilakukan untuk menggerakkan masyarakat berliterasi ialah peringatan hari buku nasional, hari kunjungan ke perpustakaan, duta baca, duta literasi, bunda baca, festival literasi, pustaka keliling, taman baca, mobil perpustakaan keliling, dan senam literasi–selesai senam pagi ke perpustakaan membaca buku sambil sarapan.
Kini, ada “sibua” literasi. Program proyek perubahan Kepala Disarpus Malut Muliadi Tutupoho, peserta Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat II Angkatan X di Puslatbang KMP, Makassar yang gencar dikenalkan ke siswa, mahasiswa, komunitas literasi, dan stakeholder. Dalam marketing sektor publik, mengenalkan program baru merupakan suatu keharusan.
“Sibua”, istilah dalam bahasa Galela artinya rumah–oleh Muliadi diakronimkan menjadi sinergitas budaya baca, dan literasi, lintas sektor. “Sibua” literasi berarti sinergitas budaya baca lintas sektor. Melalui “sibua” literasi, pelajar-masyarakat umum bebas mengakses bahan bacaan secara online. Stakeholder dan duta baca yang dinamai “jojaro ngongare” di setiap sekolah-universitas ikut berperan aktif menggerakkan literasi, dengan asa tercipta kehidupan yang cerdas dan berkualitas di negeri ini.
Dalam konteks kebiasaan, gerakan “sibua” literasi dapat dipandang sebagai upaya membangun kebiasaan membaca yang suatu saat menjadi budaya. Charles Duhigg, jurnalis di New York Times dalam bukunya The Power of Habit menyajikan banyak bukti ilmiah, bahwa membaca juga dibangun di atas kebiasaan. Kerja-kerja bermakna pun demikian, sebagaimana diulas Cal Newport–Associate Profesor Ilmu Komupter di Georgetown University dalam bukunya, Deep Work. Mari bersama menggerakkan diri untuk berliterasi. Salam Sibua Literasi.(**)